Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengeluarkan aturan baru yang cukup signifikan dalam dunia asuransi kesehatan swasta di Indonesia. Aturan yang tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 ini mewajibkan nasabah menanggung sebagian biaya pengobatan, yang dikenal sebagai sistem co-payment, minimal 10 persen dari total biaya.
Kebijakan ini telah memicu beragam reaksi, baik pro maupun kontra, di tengah masyarakat. Menkes Budi Gunadi Sadikin, misalnya, menyatakan masih mempelajari regulasi tersebut lebih lanjut sebelum memberikan komentar. Namun, ia melihat potensi edukatif dalam sistem ini.
Sistem Co-payment: Wajib Bayar 10%, Apa Dampaknya?
Sistem co-payment, di mana peserta asuransi menanggung sebagian biaya layanan kesehatan, telah diterapkan di banyak negara. Di Indonesia, aturan baru ini menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap akses dan kemampuan masyarakat membayar layanan kesehatan.
OJK sendiri berargumen bahwa sistem ini bertujuan untuk menekan inflasi medis yang terus meningkat, mencapai 10,1 persen pada tahun 2024, jauh di atas inflasi umum sebesar 3 persen. Inflasi medis yang tinggi ini dinilai mengancam perekonomian nasional.
Dengan co-payment, OJK berharap dapat mencegah penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan (over-utilization) dan menekan premi asuransi agar tetap terjangkau jangka panjang. Aturan ini efektif mulai 1 Januari 2026, dengan masa penyesuaian hingga 31 Desember 2026 untuk polis yang diperpanjang otomatis.
Dampak terhadap Peserta JKN dan Batas Maksimum Co-payment
Keputusan OJK ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana dengan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)? BPJS Kesehatan dengan tegas menyatakan bahwa peserta JKN tidak akan terbebani dengan aturan co-payment 10 persen ini.
BPJS Kesehatan menerapkan skema Coordination of Benefit (CoB), yang memungkinkan koordinasi dengan penyelenggara jaminan kesehatan lainnya. Peserta JKN yang memiliki asuransi kesehatan tambahan (AKT) tetap bisa mendapatkan manfaat dari AKT, tanpa terdampak kewajiban co-payment ini.
OJK juga menetapkan batas maksimum co-payment yang harus dibayarkan peserta, yaitu Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3.000.000 untuk rawat inap per pengajuan klaim. Batas ini diharapkan dapat meringankan beban finansial peserta.
Menkes dan OJK: Menimbang Pro dan Kontra Co-payment
Menkes Budi Gunadi Sadikin, meskipun masih mempelajari regulasi, melihat adanya sisi positif dari penerapan co-payment. Ia menyamakannya dengan asuransi kendaraan, di mana pengendara tetap menanggung sebagian biaya meskipun tertanggung asuransi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menekankan bahwa co-payment merupakan upaya untuk mengatasi inflasi medis yang tinggi. Ia berharap penerapan sistem ini dapat menekan kenaikan premi asuransi yang tidak terkendali.
Meskipun terdapat potensi manfaat, kebijakan ini tetap menimbulkan perdebatan. Beberapa pihak mengkhawatirkan dampaknya terhadap akses layanan kesehatan bagi masyarakat dengan daya beli rendah. Diskusi dan evaluasi berkelanjutan sangat penting untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif dan adil bagi semua pihak.
Ke depannya, perlu pemantauan ketat terhadap dampak co-payment terhadap akses dan utilisasi layanan kesehatan, serta perlu adanya mekanisme perlindungan bagi masyarakat kurang mampu agar tidak terbebani secara finansial. Transparansi informasi dan edukasi kepada masyarakat juga sangat krusial agar kebijakan ini dipahami dan dijalankan dengan baik.





